Akar Sejarah Alat Peledak Improvisasi (IED)
Alat Peledak Improvisasi atau IED adalah alat peledak apa pun yang dibuat atau diledakkan dengan cara selain cara militer konvensional. Mereka sering digambarkan sebagai teknologi baru. Istilah “Alat Peledak Improvisasi” diciptakan oleh Angkatan Darat Inggris selama konflik etno-nasionalis di Irlandia Utara yang berlangsung dari tahun 1960an hingga 1998.
Namun, penting untuk dicatat bahwa IED memiliki sejarah yang panjang. Di tanggal 16th Pada abad ke-17, Belanda menggunakan kapal bermuatan bahan peledak yang disebut sebagai 'pembakar neraka' untuk berperang melawan Spanyol di Antwerpen. Pada tahun 1800, upaya yang gagal dilakukan untuk membunuh Napolean dengan bantuan bahan peledak yang ditanam di kereta kuda. Contoh lain dari IED dari sejarah termasuk kereta improvisasi Mario Buda dalam pemboman Wall Street tahun 1920, bom mobil bunuh diri di pembantaian Bath School pada tahun 1927 dan penggunaan IED yang dibawa kendaraan besar dalam pemboman Barak Beirut tahun 1983.
Daya Tarik Psikologis IED: Biaya, Akses, dan Dampak
Meskipun di masa lalu penggunaan IED cukup terbatas, namun penggunaan IED menjadi lebih luas dan berdampak secara signifikan selama perang Irak yang dimulai pada tahun 2003. Setelah itu, penggunaan IED menyebar ke zona konflik lain seperti Afghanistan. Biasanya, penggunaan IED terlihat dalam 'perang asimetris dan dinamika kekuasaan' di mana salah satu pihak jauh lebih lemah. Meskipun pasukan militer konvensional mungkin lebih terlatih dan mempunyai perlengkapan yang lebih baik, penggunaan IED memberikan peluang bagi pasukan yang lebih lemah untuk menyerang dari jarak jauh, menimbulkan rasa takut dan mengganggu operasi militer.
Salah satu pendorong psikologis utama di balik pemilihan IED adalah kemudahan akses terhadap bahan-bahan yang diperlukan. IED dapat dibuat menggunakan barang-barang yang tersedia secara komersial, menjadikannya pilihan senjata yang oportunistik. IED juga dapat dipilih berdasarkan persepsi efisiensi dibandingkan biayanya. Namun, dalam kasus di mana kelompok yang lebih kuat memilih IED yang lebih mahal dan canggih seperti dalam kasus penggunaan walkie talkie oleh Israel sebagai IED untuk menyerang Hizbullah di Lebanon, hal ini dapat dianggap sebagai langkah psikologis yang direncanakan secara strategis dan bertujuan untuk memberi sinyal kendali. kemampuan dan kekuatan.
Pada tanggal 17th dan 18th Perangkat komunikasi pada bulan September meledak secara dramatis di seluruh Lebanon. Beberapa perangkat ini juga digunakan oleh anggota kelompok bersenjata Hizbullah. Ledakan yang terjadi di kawasan ramai itu melukai dan juga menewaskan beberapa orang. Melalui serangan ini Israel telah menunjukkan dominasinya yang menandakan superioritas militernya terhadap komunitas internasional dan juga Hizbullah. Ketika Hizbullah mengira Israel akan mengandalkan rudal konvensional dan serangan udara, penggunaan IED oleh Israel menimbulkan unsur kejutan. Dengan menggunakan IED, Israel juga telah mengirimkan pesan politik kepada musuh-musuhnya dan pengamat internasional bahwa Israel akan menggunakan segala cara yang diperlukan untuk mempertahankan keamanan nasionalnya.
Konsekuensi Psikologis Penggunaan IED
Langkah strategis ini mempunyai implikasi psikologis dan perilaku bagi masyarakat luas di seluruh dunia. Implikasi ini dapat dianalisis dan dipahami melalui kerangka studi Cyberpsychology dan trauma. Cyberpsychology mempelajari dampak interaksi manusia-teknologi terhadap kognisi, emosi dan perilaku individu. Konsep kepercayaan terhadap teknologi merupakan komponen inti dari psikologi siber.
Namun ketika perangkat seperti pager, ponsel, walkie talkie, dll. yang dikenal dapat mendorong komunikasi yang aman menjadi instrumen yang membahayakan, maka hal tersebut akan merusak rasa aman masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan technophobia dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap teknologi sehari-hari. Selain itu, perangkat ini sering kali meledak karena tindakan yang biasa dilakukan yaitu menekan tombol atau merespons pemberitahuan yang semakin memperkuat pelanggaran kepercayaan. Hal ini dapat menimbulkan rasa pengkhianatan dan dapat menyebabkan para korban mempertanyakan integritas lingkungan digital. Fenomena ini dapat dibandingkan dengan konsep ketidakberdayaan yang dipelajari dari psikologi klasik, di mana paparan berulang terhadap bahaya yang tidak terkendali mengarah pada perilaku pasif dan rasa tidak berdaya, yang semakin memperkuat stres dan kecemasan..
Dari segi trauma, serangan tersebut secara langsung menimbulkan trauma fisik. Namun, sifat ledakan yang tidak dapat diprediksi dan invasif memperburuk trauma psikologis. Selain itu, orang yang selamat dari insiden tersebut mungkin mengalami trauma ulang jika terpapar perangkat serupa di masa mendatang. Pengalaman tersebut dapat menyebabkan perkembangan gejala yang mirip dengan PTSD (Gangguan Stres Pasca Trauma). Hal ini juga dapat menyebabkan peningkatan perilaku penghindaran dan kewaspadaan berlebihan di kalangan masyarakat. Bentuk penghindaran ini sejalan dengan respons melawan-atau-lari, di mana otak mempersiapkan tubuh untuk menghindari potensi ancaman, bahkan dalam kasus di mana ancaman tersebut sangat terlokalisasi atau jarang terjadi. Orang-orang yang menyaksikan serangan-serangan ini melalui media sosial dan saluran berita mungkin akan mengalami trauma. Respons yang terdokumentasi dengan baik terhadap pengalaman trauma massal adalah 'efek penularan' (contagion effect) yang dapat berupa kepanikan yang menyebar di masyarakat ketika gambar dan video serangan tersebut mulai beredar. Platform media sosial dan outlet berita juga dapat memperkuat perasaan cemas dan takut sehingga menyulitkan masyarakat untuk menilai risiko sebenarnya secara akurat.
Dari sudut pandang perilaku, komunitas dan individu mungkin menunjukkan perubahan dalam pola interaksi mereka dengan teknologi. Menurut teori pengondisian operan, yang menjelaskan perilaku melalui penghargaan dan hukuman, ledakan kekerasan berfungsi sebagai bentuk hukuman atas penggunaan perangkat tertentu. Masyarakat akan dikondisikan untuk menghindari perangkat semacam itu di masa depan untuk mengurangi risiko bahaya. Seruan Kementerian Kesehatan Lebanon agar masyarakat membuang pager mereka mencerminkan upaya untuk mengurangi dampak perilaku dari ketakutan dan kecemasan, namun juga menunjukkan perubahan perilaku yang luas yang dapat dipicu oleh serangan-serangan ini.
Masa Depan Konflik: Pertarungan Psikologis di Era Teknologi Senjata
Dalam menghadapi peningkatan penggunaan IED dalam konflik-konflik modern, penting untuk mempertimbangkan bagaimana teknologi semakin dijadikan senjata dalam konflik modern. Cyberpsychology menawarkan wawasan tentang bagaimana individu memandang dan berinteraksi dengan teknologi selama krisis, dan risiko psikologis yang terkait dengan penggunaan perangkat sehari-hari sebagai senjata sangatlah besar. Jika serangan serupa dilakukan di masa depan, masyarakat kemungkinan akan mengalami erosi kepercayaan lebih lanjut terhadap teknologi komunikasi, yang berpotensi menyebabkan perubahan masyarakat yang lebih luas dalam memandang teknologi baik dalam konteks pribadi maupun militer.
Persimpangan antara psikologi siber dan peperangan menunjukkan bahwa konflik di masa depan tidak hanya melibatkan pertempuran fisik tetapi juga psikologis. Para pejuang mungkin semakin banyak yang menyasar infrastruktur dan perangkat teknologi yang menjadi andalan masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian fisik dan psikologis. Pemahaman mengenai dampak-dampak ini melalui kerangka Cyberpsychology membantu mempersiapkan diri menghadapi dampak sosial dan psikologis dari konflik-konflik tersebut.
Kesimpulan
Ledakan peralatan yang terkoordinasi di Lebanon meskipun mungkin mewakili sentimen nasionalis Israel, namun juga mewakili evolusi mengerikan dalam peperangan modern, di mana batas antara teknologi sebagai alat dan teknologi sebagai senjata menjadi kabur. Dari sudut pandang psikologis, dampaknya sangat luas. Gangguan kepercayaan terhadap teknologi, trauma yang ditimbulkan pada individu dan komunitas, dan konsekuensi perilaku yang lebih luas memerlukan perhatian dari para profesional kesehatan mental, pemerintah, dan ahli teknologi. Ketika konflik di masa depan semakin melibatkan manipulasi teknologi sehari-hari, psikologi siber akan memainkan peran penting dalam memahami keseluruhan dampaknya terhadap jiwa manusia.